Tuesday, October 17, 2017

Farida wanita tangguh dari Grideh

Kesuksesan seorang pria tak pernah lepas dari siapa wanita hebat pendampingnya. Kesuksesan Bapak Basir tak pernah lepas dari seorang Wanita bernama Farida. Seorang wanita desa yang sangat sederhana dengan filosofi mengikuti kemana air mengalir, mengikuti sang suami tanpa membebani bahkan senantiasa menguatkannya.
Tulisan dibawah ini yang merupakan tulisan lama tentang almarhumah Ibu Farida, istri pertama Bapak Basir yang setia selalu menemani sang suami sejak bersepeda onthel tuk menghidupi keluarga hingga Alloh telah memanggilnya.

Sabtu, Tiga belas Agustus tahun dua ribu lima.
"Kringg.. Kringgg “
Telingaku yang sensitif langsung kaget dibuatnya, dengan mata yang masih sembab, ku ucek-ucek mataku sambil melirik jam dinding mickey mouse kesukaan anakku diatas lemari. Masih pagi sekali, jam empat lebih lima menit.
“mbak Rambat kah ?“
Dua hari lalu, ada kabar dari adikku Anna, saat itu kebetulan adalah waktunya dia bayar hutang ke bapak atas pembelian mobil yang sekarang dikendarainya, jadi dia menelepon dulu ke klaten. Saat itu, dia menceritakan kalau bapak tidak ada dirumah, ternyata sedang kerumah sakit mengantar ibu. Mendengar itu, saat itu juga aku telpon ke handphone bapak,
"Nggak papa kok, ibu tadi malem muntah-muntah dan ada sedikit darah, jadi langsung bapak bawa ke RS.PKU Karanganyar. Insya Alloh kondisinya sekarang sudah mendingan. Ibu sedang tidur nyenyak."
Hari itu adalah hari dimana ibu pertama kali masuk dan dirawat dirumah sakit, ya seumur hidupnya.
"Alhamdulillah, mugi-mugi ibu enggal sehat nggih pak"
Walau dalam hatiku masih merasakan adanya sesuatu yang mengganjal, tapi entah apakah itu. Dan jawabannya baru kutahu dua hari kemudian, hari ini. Aku percaya penuh atas jawaban bapak. Ternyata inilah kesalahan fatal pertamaku, terlalu nggampangno dan rada tidak 'care' sama keluarga, jawaban bapak tidak kulanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan lain yang menunjukkan ‘care’ ku pada ibu.
Kesalahan kedua muncul pada hari jum'at, aku menyanggupi ikut temen-temen kantor untuk bersama-sama rafting atau yang biasanya disebut juga dengan arung jeram di Sungai Pekalen Ponorogo pada Sabtu pagi jam lima. Karena memang akulah yang sebelumnya memanas-manasi mereka, bahkan sempat kirim email ke mailing list kantor memberikan pengumuman. Untuk peserta Rafting agar besok sabtu kumpul jam lima tepat di halaman kantor dan berangkat naik BUS.
Jum'at itu aku disibukkan dengan persiapan untuk esok hari mengikuti rafting di Sungai Pekalen Probolinggo. Saat membeli sepatu sandal yang bahannya musti kedap air kupilih sepasang sandal bermerk New Era karena kebetulan selain modelnya cocok untuk dipakai di sungai, saat itu sedang diskon. Memang memakai sepatu sandal lebih baik daripada menggunakan sepatu sport, repot sekali jika kemasukan air akan mudah rusak dan berat, belum lagi kakinya jadi lembab. Baju dan celana ganti tidak lupa kusiapkan sepasang, karena pasti akan basah kuyup terkena air sungai walaupun sebenarnya bisa juga beli kaos di toko Regulo rafting disana. Celana kupilih yang tiga perempat dengan bahan tipis tapi tidak mudah sobek, celana yang juga biasa untuk naik gunung. Celana olah raga panjang atau yang biasa disebut training tidak kupilih karena takutnya juga akan jadi berat jika terkena air sungai. Yang terakhir adalah perlengkapan mandi. Kebetulan aku sudah siap dengan tas kecil yang berisi sabun mandi gel, sikat gigi pendek berhelm, shampoo, dan handuk kecil. Tas kecil itu memang sudah siap, khusus untuk kegiatan saat aku dikirim keluar kota. Semua kebutuhan untuk rafting sudah selesai. Siap berangkat. Malam sabtu itu semua barangku untuk rafting sudah siap dan diletakkan di ruang tamu,
"tinggal angkat kaki besok pagi.." pikirku
Sehabis mempersiapkan segala sesuatunya, aku masih sempat menelepon dek Anna. Dia punya rencana akan ke klaten, tetapi aku belum tahu kapan dia berangkat.
“ Hallo, Assalaamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam. Mas Babah ya ? ada apa mas ? ”
Aku baru sadar jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Mungkin aku terlalu bersemangat untuk menghadapi rafting besok.
“Jadi pulang nggak ? kapan ?“
“ Oo itu tho, Insya Allah nanti jam sepuluh nanti mas. Mau bareng ?”
Dia memang tinggal tak jauh dari rumahku, sama-sama di Sidoarjo. Hanya dia di Sidoarjo barat, aku diselatan. Kalau dihitung dalam satuan waktu, hanya sekitar sepuluh menit saja. Dengan santainya aku ngomong ke dek Anna,
“Malam ini ? sori ya aku nggak bisa sekarang soalnya masih ada acara kantor dulu”
kujelaskan ke dia, bahwa besok pagi ada acara bersama teman-teman kantor yang mungkin siang hari sudah selesai.
”Kalo gitu aku titip salam ya buat Ibu, aku baru bisa berangkat ke sana besok siang setelah acara rafting ya. Jadi mungkin sampe sana baru malam minggu”
Tak kusadari, inilah kesalahanku yang ketiga.
Berangkat…
“KRINGGGG"... semakin keras,
Dug-dug-dug, jantungku berdetak semakin cepat, mungkin kalo biasanya kondisi normal nadiku adalah tujuh puluh denyut permenit berubah drastis menjadi dua kali lipat, seratus empat puluh denyut permenit. Setiap ruang jantungku terasa mengendur dan terisi darah lebih cepat dari biasanya. Berkontraksi dan memompa darah keluar dari ruang jantung. Karena sangat cepat, dan didukung pula oleh kondisi saluran pembuluh darahku yang kata dokter mengalami penyempitan, maka darah yang seharusnya kaya akan oksigen dan beredar melalui pembuluh darah keseluruh tubuh ini malah membuat pernapasanku agak tersengal-sengal. Langsung aku berlari kearah telepon yang ada di ruang tamu itu dan kuraih gagangnya cepat-cepat.
"Assalaamu'alaikum..".. sambil kucoba tenangkan diri.
"Wa’alaikumumsalam" nada suara perempuan yang sudah kukenal
“Ini mbak Rambat ya ?”
“Iya, aku Rambat, aku isih ning rumah sakit sekarang, cepet ndang mulih dik, Ibu gerah nemen”
Rambat, kakakku angkatku yang sekarang tinggal dekat dengan rumah hanya menyampaikan kalimat yang kalau diketik di komputer mungkin nggak sampe satu baris. ”Klik”
Teleponnya langsung mendengung. Aku terdiam, tanpa sempat meletakkan gagang telepon itu ketempatnya semula.Hingga akhirnya,
"Allahu akbar - Allaahu akbar"
Suara adzan masjid samping rumah langsung mengingatkan dan membuatku segera bergerak.
"Ya Alloh, berikan kekuatan kepada ibuku"
Segera setelah membangunkan istri dan anak-anak, kuambil air wudlu untuk persiapan sholat dimasjid. Kuceritakan berita yang disampaikan Mbak Rambat tadi kepada istriku, kuminta untuk segera mempersiapkan segala sesuatunya.
“Bune, selesai sholat, kita langsung berangkat ya, tolong kasih tahu juga temen kantorku kalo aku nggak jadi ikut rafting. Bawa baju secukupnya saja.”
Kuputuskan akhirnya tidak ikut rafting, walau sebenarnya itu adalah keputusan yang rada berat bagiku, aku sangat menyukai olahraga berbau petualangan ini. Tapi mungkin ini keputusan yang terbaik.
Setelah menitipkan kunci rumah ke tetangga samping dan pamitan padanya, aku langsung masuk mobil yang disopiri istriku dulu, karena kalo aku yang nyetir pasti tidak akan bisa tenang. Tadinya aku ngotot ingin nyetir.
“Nanti aja mas kalo sudah sampai Nganjuk, sekarang baca-baca aja dulu sambil jalan dan juga berdo’a”
Sebelum berangkat sempat bawa buku-buku yang kiranya perlu untuk dibaca. Memang sebelumnya tak terpikir olehku, tanganku secara otomatis mengambil buku kumpulan do'a, mudah-mudahan bisa mengingatkanku akan doa-doa yang sudah lama tidak kubaca. Dan buku Fatwa Kontemporernya Yusuf Qardawi, kalau buku ini aku hanya kebetulan saja sedang membaca ulang kembali dan belum selesai. Perjalanan dari Surabaya ke Nganjuk cukup jauh dan melelahkan, akan memakan waktu lebih dari dua setengah jam. Mudah-mudahan istriku kuat. Baru setelah itu aku akan melanjutkan sisa perjalanan dari Nganjuk ke Klaten yang masih memakan waktu empat jam lagi. Sehingga harus dimanfaatkan benar waktu yang panjang ini.
Ingatanku kembali pada telepon pertama dini hari tadi, setelah sholat witir aku langsung menelepon mbak Rambat untuk menanyakan apakah dik Anna sudah sampe disana atau belum, karena dia sudah berangkat sekitar jam sepuluh malam. Perjalanan malam, biasanya akan lebih lancar, jadi pasti sekitar lima jam perjalanan saja.
Dik Anna belum sampai, tapi mungkin sebentar lagi katanya. Akhirnya kutanyakan kondisi ibu, hampir lima belas menit mbak Rambat cerita mengenai kondisi ibu di rumah sakit. Malam sabtu itu ibu sudah rada sehat, bisa ngobrol enak dengan para tamu, bahkan ibu sempat mengatakan
"Sesok aku wis muleh kok, wis podo muliho kono, wis jam sewelas lho"..
Hampir sepuluh orang ngumpul disana, mulai dari bapak, adik-adik bapak, keponakan dan teman-teman ibu pada malam itu memang masih menemani diluar ruangan sampe ibu tertidur. Dan setelah permintaan ibu itu, sekitar jam sebelas malam semuanya pulang, kecuali bapak dengan Ibu.

Ibu Isih Kuwat…
Dini hari sekitar jam satu bapak terbangun karena mendengar suara-suara gaduh dan dilihatnya kasur yang dalam kondisi kosong, Ibu tidak ada! tidak ada di tempat tidur. Tampak diruangan itu banyak kotoran tinja berceceran dimana-mana, mulai dari atas kasur lalu turun dibawahnya dan ternyata dilantai juga sangat banyak mengarah ke kamar mandi yang ada didalam kamar. Ibu memang dirawat di VIP Room yang cukup memadai untuk RS PKU Muhammadiah selevel kabupaten kecil, sehingga kamar mandi dalam kamar juga tersedia.
Dan ternyata ibu sudah ada dikamar mandi dengan penuh kotoran, tetapi kelihatannya dalam kondisi lemas. Dengan gerakan cepat bapak segera membantu ibu dengan memegangi dan menyangga tangannya agar tidak terjatuh di kamar mandi.
”Mboten nopo-nopo kok mas, aku isih kuwat”
Ibu tampak sekali sebenarnya tidak ingin merepotkan bapak, makanya tadi tidak membangunkannya. Ibu memang orang yang biasa mengerjakan segala sesuatunya sendirian, biasa mandiri. Bakat yang memang sudah tertanam sejak dari kecil. Kondisi hidup saat itu yang memaksa munculnya hal itu. Setelah membopong ibu ketempat tidurdengan tertatih-tatih berjalan menuju kasur, bapak kembali membersihkan semuanya hingga ruangan itu kembali bersih. Ibu terdengar rada mengeluh dan tampak tidak tenang, tidak bisa tidur. Seperti biasa, bapak segera memanggil suster yang ada di ruang tengah.
"Suster, tolong Ibu dikasih penenang ya tampaknya sulit tidur, kasihan".
Bapak juga menelepon mbak Rambat agar bisa datang dini hari itu menemani Ibu, karena Ibu juga memanggil-manggil nama mbak Rambat. Suntikan yang diberikan suster melalui saluran infus itu langsung terlihat dampaknya. Ibu tampak tenang dan tertidur sambil tersenyum,terlihat sekali ketenangannya bila dibanding tadi saat buang air besar yang tampak sayu. Mbak Rambat datang.
"Tolong jaga Ibu sebentar, Ran. Aku arep Sholat sik",
Kebetulan memang saat itu masih jam dua pagi, dan melihat kondisi ibu yang udah menikmati tidurya, bapak jadi agak lega. Dikamar itu juga bapak langsung sholat malam. Mbak Rambat dengan tenang memegang tangan ibu,
"kok aneh ? agak dingin tangan ibu" tanyanya dalam hati.
Diperhatikannya Ibu dari atas hingga bawah. Seorang wanita tua dengan rambut hitam diselingi uban keputih-putihan yang terurai sebahu tampak kusut seperti tak pernah keramas. Dahinya berkerut tak berurut, tertutupi oleh helai-helai rambut yang pajang. Tetapi ada dua tanda hitam didahinya masih terlihat jelas, tanda yang biasa tampak pada orang yang sangat rajin sholat. Insya Alloh memang ibu hampir setiap hari melakukan sholat malam bersama bapak. Lesung pipi menghias pipi cantik yang orang jawa bilang ‘dekik’ itu memang sudah agak tidak kelihatan, tapi dengan keunikan lesung pipinya inilah yang mengambarkan bagaimana cantiknya ibu saat muda dulu, seorang putri solo juga. Klaten tempat kelahiran ibu adalah termasuk bagian dari karesidenan surakarta, atau yang biasa dikenal dengan kota solo. Sehingga wajar saja jika disebut juga putri solo. Lagu keroncong ”Putri Solo ” sesuai mengiringi Ibu. Putri solo yen ngguyu dekik pipine, ireng manis kulitane, dasar putri solo..
Hidungnya memang tidak semancung orang arab, tapi agak sedikit mbangir. Sama persis dengan hidungku yang mancung kedalam, kata bapak. Hidung orang jawa, kata orang-orang rata-rata adalah pesek. Jadi kalau mbangir malah nanti dikira orang arab. Ibu masih menggunakan baju daster batik berwarna biru kesukaannya yang dibeli dari pasar klewer solo. Hampir seluruh kios yang ada dipasar klewer menjual batik, mulai dari kaos batik, kemeja batik, bahkan celana batik, tetapi belum ada pakaian dalam batik, tidak menarik mungkin. Harganya memang cukup murah disana, tetapi harus pintar-pintar menawar, jika tidak bisa-bisa memperoleh harga tiga kali lipat dari harga normal.
Senyum manis dimulut yang kecil seperti tidak menyiratkan kesakitan yang dialaminya. Dokter di rumah sakit kecil itu belum bisa memastikan jenis penyakitnya, walaupun telah mengundang dokter spesialis internist dari rumah sakit umum dr. Moewardi di Solo. Ibu memang jarang sekali mau periksa ke dokter. Bisa dihitung dengan jari kalau selama hidupnya itu periksa kedokter nggak sampai lebih dari sepuluh kali. Jika kadang terasa nyeri dikepala atau sakit perut pasti selalu membeli ’pil ajaib’ yang terdiri dari tiga butir kapsul di sebuah toko jamu kecil di pasar Karanganyar. Dan ajaibnya, ibu selalu merasa lebih enak setelah minum obat itu, mungkin itu yang dinamakan sugesti. Dimana mana sugesti itu memang senjata paling ampuh dalam menyembuhkan suatu penyakit. Sayang sekali sepertinya tidak ada dokter ataupun psikiater yang mencoba mendalami pengetahuan sugesti ini. Hal yang sebenarnya juga sama dengan yang sering aku alami, hanya kalau aku pasti merasa sehat karena sugestinya adalah setelah diperiksa dokter spesialis. Suatu ketika, aku diminta ibu membelikan ’obat ajaib’ itu, dan kutanya kepada ibu tua yang jual disana, sebenarnya obat apakah itu, dia hanya menjawab,
”Obat kesel mas”, sudah itu saja.
Kuminta lebih diperjelas lagi, dengan santai dan sambil mesem dia langsung pergi melayani pembeli yang lain. Hingga saat ini, belum pernah aku mengetahui jawabannya.

Grideh desanya …
Jari jemari ibu ditutupi oleh kulit agak keras, urat-urat syaraf menonjol kehijauan menutupi keriput-keriput yang tampak pada tangannya. Telapak tangan yang cukup kasar melukiskan jejak-jejak kehidupan yang telah ditempuh Ibu, dimana saat kecilnya hanyalah anak dari seorang petani yang juga pejuang perang dari desa Grideh kabupaten Klaten.
Klaten adalah sebuah kabupaten yang sebenarnya cukup ramai, karena merupakan daerah transit, berada diantara dua kota besar, yaitu solo dan jogja. Bila melakukan perjalanan dari solo ke jogja maka akan melalui klaten yang tepat berada ditengah-tengahnya. Posisi yang terletak diantara gunung Merapi dan pegunungan Seribu membuatnya menjadi daerah yang subur. Walaupun ada juga daerah yang tidak begitu subur disekitar selatan berbatasan dengan gunung kidul.
Ibuku pernah bercerita bahwa sebenarnya kata Klaten berasal dari kata “kelati” atau buah bibir. Kata “kelati” ini kemudian mengalami disimilasi menjadi Klaten. Tapi ternyata cerita tentang klaten tidak cuma itu, beliau juga mengatakan bahwa ada versi lainnya menyebutkan kata Klaten berasal dari kata Melati. Dari Melati kemudian berubah menjadi Mlati dan berubah lagi jadi kata Klati, sehingga akhirnya karena agar memudahkan pengucapan maka dari kata Klati berubah lagi menjadi kata Klaten. Sebenarnya Melati adalah nama seorang Kyai yang pada kurang lebih lima ratus enam puluh tahun yang lalu datang di suatu tempat yang masih berupa hutan belantara. Kyai Melati Sekolekan, nama lengkapnya, menetap di tempat itu. Makin lama semakin banyak orang yang tinggal di sekitarnya, dan daerah itulah yang menjadi Klaten yang sekarang. Sedangkan dukuh tempat tinggal Kyai Melati lantas diberi nama Sekolekan. Nama Sekolekan adalah bagian dari nama Kyai Melati Sekolekan. Sekolekan kemudian berkembang menjadi Sekalekan, sehingga sampai sekarang nama dukuh itu adalah Sekalekan. Di Dukuh Sekalekan itu pulalah Kyai Melati dimakamkan. Kyai Melati dikenal sebagai orang berbudi luhur dan lagi sakti. Karena kesaktiannya itu perkampungan baru itu aman dari gangguan perampok. Setelah meniggal dunia, Kyai Melati dikuburkan di dekat tempat tinggalnya. Cerita yang membuatku menjadi semakin merindukan kampung halaman.
Desa ibuku yang bernama Grideh juga sangat amat subur, dengan pengairan yang tidak mengenal musim karena dialiri terus dari sumber air Cokro Tulung dimana sekarang sudah pula dibisniskan menjadi air minuman dalam kemasan seperti Aqua, maka area persawahan yang walaupun hanya sepetak itu sangat membantu menghidupi keluarganya. Keluarga yang hanya berdua, tanpa kakek. Kakek sudah lama tidak ada, mulai usia lima tahun, ibu sudah hidup hanya berdua dengan nenek.
”Kakekmu itu hilang tak tentu rimbanya. Bahkan sampe sekarang ibu juga tidak tahu dimana kuburannya. Tetapi kamu harus bangga le, soalnya sekarang nama kakekmu itu dikenang oleh banyak orang karena perjuangannya dan menjadi nama jalan di klaten sana” Ibu memang sangat bangga akan bapaknya walaupun tidak ingat lagi wajahnya karena memang tidak ada foto album yang tersimpan. Kakek Umar Shiddiq namanya.
Menurut ibu, kakek hilang pada saat ramai-ramainya gerakan PKI di sekitar pintu masuk kota Klaten. Saat itu terkenal dengan Pasukan Merah. Konon pada hari itu kakek Umar Shiddiq yang juga anggota DPRD Klaten dari Parmusi, sedang dalam perjalanan dari Jogja ke Klaten karena ada undangan pernikahan salah seorang teman seperjuangannya di jogja. Dengan hanya menggunakan sepeda ontanya yang cukup besar kakek berjalan dengan santai. Ditengah perjalanan, ia ketemu dengan salah seorang saudaranya yang naik andong dari arah berlawanan. Saudaranya itu bercerita bahwa diperbatasan atau di pintu masuk kota klaten ada banyak pasukan merah yang sedang melakukan sweeping. Saat itu posisinya masih di prambanan, wilayah yang terdapat candi peninggalan kebudayaan hindu terbesar di indonesia. Wilayah ini adalah perbatasan propinsi Jogja dengan propinsi Jawa Tengah. Hingga saat ini, masih ada yang menyangka kalau candi prambanan itu berada diwilayah Jogja, padahal sebenarnya sudah masuk propinsi jawa tengah, tepatnya kabupaten klaten. Kakek Umar Shiddiq tetap saja melanjutkan perjalanannya dari prambanan menuju ke kota klaten, hingga akhirnya tibalah di perbatasan kota klaten, didaerah Jogonalan. Di wilayah inilah kakek terlihat terakhir, tidak ada yang tahu bagaimana kejadiannya secara persis. Bahkan seluruh warga desa Grideh pun juga tak ada yang tahu. Kakek hilang ditelan arus pergolakan saat itu.
Dengan kondisi yang yatim sejak kecil ini maka ibu selalu giat membantu nenek bekerja disawah, menanam padi, memberi pupuk, kadang juga seharian dirumah sawah menjaga agar tidak ada burung yang mencuri butir-butir padi yang sudah siap panen. Masa panen adalah masa yang paling menyenangkan, setiap tiga bulan, jika tidak diserang hama merupakan saat yang indah. Dibantunya nenek memanen padi, menjemur, hingga membawanya ke slepan agar bisa menjadi beras untuk bisa dijual. Dan tentunya setelah itu ia akan diberikan uang jajan dan uang sekolah sehingga bisa membeli buku, baju, bahkan sepatu. Masa-masa itu sepatu adalah sesuatu yang sangat mahal dan sulit ditemui orang yang menggunakan sepatu. Jika pakai sepatu, maka dia termasuk orang yang mampu. Sedangkan kalau jajanan makan, sangat jarang sekali. Kalau dirumah saja kesukaanya adalah ikan asin, nasi diberi kecap dan lauk ikan asin merupakan hal yang sudah biasa baginya. Mungkin dari kebiasaan seperti inilah yang bisa menjadi bibit-bibit perilaku ibu disaat besar, pintar menghemat, hal yang tidak dimiliki oleh bapak.
Hampir setiap hari perjalanan dari desa kesekolah dilalui dengan berjalan kaki dan kadang juga bersepeda. Baru setelah besar dan lulus dari Sekolah Dasar, oleh nenek ibu diminta agar kost saja di Solo. Madarasah Mualimin Mualimat Muhammadiyah (MMMM) Solo merupakan sekolah yang masa belajarnya hanya lima tahun, kalau saat ini sepadan dengan SMP yang dilanjutkan dengan SMA. Hanya kalau di MMMM ini bila dilanjutkan ke IAIN maka perlu masuk dahulu ke Sekolah Persiapan IAIN. Kebetulan Grideh memang lebih dekat ke Solo daripada ke kota Klaten sendiri. Sekitar sepuluh kilometer jarak tempuhnya, sedangkan jika ke kota Klaten bisa lebih dari delapan belas kilometer. Nenek sangat mendukung penuh agar ibu tetap bisa melanjutkan sekolahnya. Sehingga setelah lima tahun di MMMM ibu diminta untuk terus lanjut ke IAIN Sunan Kalijaga di Jogja. Nah disinilah Bapak bertemu dengan Ibu, dengan perantara adik bapak yang satu kost dengan ibu, Alhamdulillah akhirnya mereka bisa berjodoh.

Saat tiba …
Tanpa terasa, telah satu jam perjalanan dari surabaya dan memasuki wilayah Mojokerto. Kota Mojokerto tidak kami lewati, hanya melalui sebelah selatannya, karena melalui jembatan tol yang kini sudah tidak ada gerbang tolnya lagi. Sepanjang perjalanan hampir seluruh rumah dipinggir jalan selalu memiliki bentuk pagar rumah yang unik, pudak berundak. Yaitu seperti tembok yang pipih luas kemudian ditumpuk-tumpuk, makin keatas makin mengecil. Kesannya adalah seperti melihat candi yang kecil dari kejauhan. Mungkin ini adalah peninggalan dari sejak jama majapahit dahulu, karena disinilah daerah pusat kerajaan Majapahit yang terkenal itu. Jombang tidak jauh dari Mojokerto, diwilayah tempat banyak tokoh lahir seperti Gus Dur, Cak Nurcholis Madjid, Emha Ainun Najib ini lumayan ramai. Disini terdapat tempat makan yang cukup ramai dihampiri oleh musafir-musafir dari luar kota, yaitu sebelah barat kota jombang ada warung Pojok dua. Harganya memang relatif murah dengan menu masakan-masakan khas jawa timur.
Setelah mampir sebentar untuk sarapan, aku langsung menggantikan istriku menyetir. Tidak tega rasanya membiarkan dia menyetir selama dua jam perjalanan ini. Dari desa Perak jombang yang penuh dengan warung pecel lele langsung kami menyeberangi sungai Brantas memasuki Kertosono. Hutan Saradan sebagai tanda bahwa disini adalah kabupaten Nganjuk tidak terlalu macet, walaupun ada beberapa truk dan bis disepanjang jalan. Nganjuk dan Ngawi tidak sebesar Jombang dan seramai Jombang, sehingga perjalanan terasa cepat sekali tahu-tahu sudah memasuki muntilan, daerah terakhir propinsi jawa timur yang berbatasan dengan Sragen jawa tengah. Di Muntilan terdapat pondok pesantren gontor khusus putri. Nama pesantren sebenarnya adalah darussalam, tetapi orang mengenalnya sebagai pesantren Gontor, karena memang yang aslinya adalah di desa Gontor Ponorogo.
”Pak, nanti ada tugu gombal khan ya ?”
Anakku yang besar secara tiba-tiba mengagetkanku dengan pertanyaan itu.
”O,ya sebentar lagi ada, tapi kayaknya tinggal satu mbak Aya, satunya sudah ditebang sehingga jadi lebih pendek.”
Dia memang tahu kalo disitu terdapat dua buah pohon di seberang jalan yang penuh dengan kain gombal. Sepertinya pohon itu ada yang menghuninya, orang dengan kondisi yang tidak begitu waras. Aku pernah melihatnya saat malam hari terlihat agak terang, seperti ada lampu didalam kain-kain bekas itu. Entah sedang apa, bertapa mungkin, tapi kok dipinggir jalan. Dan kalau sekarang Sudah bersih tidak ada lagi pohon itu.
Begitu masuk Palur, yang merupakan daerah pertama wilayah Karanganyar dari jalur sragen, hatiku langsung bergemuruh. Tak sempat lagi aku lirik tempat bakso rusuk kesukaanku diawal Palur. Tak kupedulikan lampu lalulintas yang merah dipersimpangan. Tampaknya tidak ada polisi yang mengejar, mungkin mereka menyadari kegundahan hatiku ini. Saat di sragen tadi, tiba-tiba ada telepon masuk. Entah siapa yang menelepon, menanyakan aku sampai dimana, dan diminta langsung kerumah saja.
Akhirnya perjalanan terhenti tepat di pertigaan selatan rumah depan toko Arafah
tetanggaku sekitar yang berjarak lima puluh meteran dari rumah, aku nggak bisa masuk. Banyak sekali mobil disepanjang pinggir jalan itu. Dan terdapat bendera warna merah.
Dess..Hati ini langsung down. Aku merasa berada diawang-awang. Untungnya mobil masih bisa kuparkir didepan toko Arafah. Ada tetangga yang mengambil alih mobil, dia akan memindahkan ke tempat yang lebih aman. Dekat rumah yang sudah penuh dengan manusia dan tenda yang panjang sekitar tiga puluh kali sepuluh meter. Ibu memang orang yang sangat amat baik, bahkan kepada siapapun, jadi aku tidak heran kenapa kok banyak sekali orang yang datang. Aku langsung lari sambil menggendong anakku Ainaya, adeknya digendong istriku. Bapak sudah menyambut didepan.
”Ibumu le, ibumu.. ”
Aku langsung tahu maksudnya. Kulihat bapakku yang terlihat tabah , tidak terlihat bekas air mata dipipinya itu langsung kupeluk, walaupun aku tahu bahwa hati-nya pasti hancur. Sebagaimana hati anaknya ini.
"Innalillaahi wa Inna Ilaihi Rooji'uun",
Bapak memang sangat tergantung sekali dengan ibu. Ini terlihat sekali khususnya saat kudengar cerita dari mbak Rambat, Bagaimana bapak berteriak histeris saat dikatakan oleh dokter bahwa ibu sudah meninggal. Ternyata kejadiannya beberapa saat setelah aku menelepon mbak Rambat tadi pagi, tepatnya saat mbak Rambat minta aku untuk pulang segera. Ia tidak beRambat langsung mengatakannya kepadaku. Aku tidak pernah melihat bagaimana histerisnya bapak, jika kubayangkan pasti sangat mengenaskan karena tidak pernah dibayangkan bahwa akan secepat ini, padahal rencananya hari ini ibu akan pulang.. ternyata maksudnya adalah pulang ke rakhmatullah...Inilah peristiwa tersedih pertama dalam hidupku, tak ada yang diluar ini yang menyebabkan aku teramat sedih. Tak ada. Aku sangat merasa bersalah, aku seharusnya sudah kemarin-kemarin bisa datang, tidak perlu sibuk untuk ikut-ikutan rafting, tidak perlu menunda-nunda.
Sehari penuh itu rasanya dunia ini terasa kejam sekali, menyedihkan. Tak ada kejadian yang lebih menyedihkan dari ini. mulai dari pagi hingga akhirnya aku ikut menyolatkan Ibu, mengantarkannya menuju liang kubur di area pemakaman. Seluruh saudara hadir, tapi itu malah membuatku semakin teringat padanya.


Hanya Ibu yang punya itu

Hayo hayo hayoo resik-resik ..terngiang-ngiang
Setiap hari libur ahad pagi bakda subuh.. senantiasa
Tak ada kesempatan tuk tidur lagi
Hanya Ibu yang punya itu
Teringat setiap mentari pagi
Satu gelas madu kuning telur siap santap
Tuk Bapak sebelum berangkat
Hanya Ibu yang punya itu

Terdengar pintu berbunyi dari kamar depan tipi
Dua gemericik air bunyi teratur seirama
Jelang subuh masihlah lama
Hanya Ibu yang punya itu

Pagi pagi mengantar ke pasar
Salam mbok salam mbak sepanjang pasar
Tak kelihatan stand yang tak pernah dihampirinya
Hanya Ibu yang punya itu
 


Sunday, October 15, 2017

Pak Basir - begitu biasanya dipanggil

Bisa dikatakan dari sisi jam terbang, sayalah anak dari empat bersaudara yang mungkin jam terbang diskusi dan bincang-bincang dengan bapak adalah paling sedikit. Memang salah satunya disebabkan sejak TK hingga kelas satu SMP tidak berada dirumah, ikut Om Benu ke Jakarta dan Bengkulu.
Alhamdulillah setiap ngobrol dengan bapak tidak terasa bahwa sisi kualitasnya selalu lebih besar, jadi tampaknya kuantitas jam terbang yang sedikit masih terimbangi dengan kualitas isi obrolan dan 'wejangan- wejangan' yang sangat berbobot. Kemudian dari cerita obrolan-obrolan inilah sifat atau tingkah bapak bisa diterka. 

Bapak itu Ora Neko-neko (Sederhana - Simplify)

Makan,..iya pastinya, kalo untuk urusan yang satu ini Bapak sangat tidak neko-neko, hampir semua jenis makanan tidak ada yang ditolak. Malah tidak hanya yang makanan tradisional seperti soto, sate, sop, bayam, gule, tongseng, gudeg, garang asem, kare, bakso. Lauk pauk apa pun juga oke, karak, rambak, emping, tempe, bothok, tahu jowo, tahu sumedang, tahu kediri, krupuk, peyek. Bahkan sampai dengan yang ke-kini-an pun juga lahap lho, kebab, roti tawar, donat, lapis suroboyo, dan seterusnya. Malah agak sulit menemukan makanan yang tidak cocok :-)
Urusan lain terkait life-style (gaya hidup) juga begitu, ora neko-neko. Mau ada acara jagong, acara undangan bupati, acara peresmian, Bapak tidak punya banyak baju stok untuk masing-masing acara, bisa jadi itu lagi - itu lagi bajunya. Apa yang ada dilemari apa yang tersedia dan yang sudah disiapkan oleh ibu maka itulah yang dipakai. Urusan sepatu, ikat pinggang, tutup kepala seperti peci, topi, ya itu-itu aja.
“Onone kui yo wes kui ae” seloroh Bapak.
By the way, jangan-jangan peci Bapak gak pernah dicuci kali ya? (amiitt Bapak.. amitt, hehehe..)


Bapak itu Entengan (Suka Nolong - Helpful)

Kebetulan cerita dibawah ini berawal saat diskusi tentang filsafat (biar keliatan berbobot  hehe). Karena kebetulan lagi ngobrolin temen ngaji dulu dikaranganyar yang terus ambil jurusan filsafat di IAIN Sunan Kalijaga padahal bacgroundnya SMA Negeri dan dengar dengar beliau sekarang sudah Doktor di sana.
Pada suatu ketika seorang bapak (sebut Pak S) datang ke Bapak menyampaikan kalau anaknya yang saat itu sudah jadi dosen di sebuah perguruan tinggi terkenal kondisinya kadang suka melamun dengan tatapan yang kosong (blank). Pak S bercerita panjang lebar bahwa sepertinya karena keseringan berpikir tentang filsafat, hingga akhirnya jadi sering termenung sendirian dan sulit diajak bicara, saat ditanya suka diam bergeming saja. Terpikir olehku jangan-jangan sampai membayangkan tentang zat Allah? jadi inget punya temen juga yang dulu pernah kerasukan jin saat memikirkan zat Alloh jadi pikiran langsung kosong dan akhirnya masuklah jin ke tubuh teman saya itu.
Bapak melanjutkan, "Pak S iku minta ke aku agar bisa memberikan syafa'at atas masalah anaknya…” (katanya syafaat itu artinya menolong orang lain dengan tujuan menarik manfaat dan menolak bahaya) ...
“Aku khan yo bingung to ditanya begitu. Lha cuman guru ngaji biasa, tidak pernah nangani yang seperti ini. Tapi mungkin beliau Pak S sudah sedih sekali ya dan takut juga ada apa-apa dengan putranya. Padahal dulu putranya rajin sekali mengaji tapi memang belajarnya saat setelah sudah dewasa, dan sepertinya saat kecil belum mendapat bekal agama yang kuat dari orang tuanya"
"Akhirnya saat iku Bapak langsung sampaikan saja tanpa berpikir panjang, agar anaknya dibawa kesini untuk Bapak ajak bicara, kan dulu juga sudah pernah ngaji disini walau hanya beberapa lama dan memang dulu kelihatan sering bermain dengan logika, mungkin itu salah satu awal penyebabnya, semoga mau bicara dengan Bapak"
Dan apa yang Bapak lakukan? Aku langsung aja bertanya karena penasaran, Abis katanya gak pernah menangani yang bermasalah seperti ini.
“ Yo sudah, setelah ketemu, Alhamdulillah ternyata masnya putra Pak S masih mau bicara dengan Bapak. Tapi memang tampak sekali lebih banyak diam, mungkin terlalu dalam memikirkan filsafat. Akhirnya Bapak cuman berpesan, kalau ingin agar diri merasa tenang maka jangan sampai ada waktu sela ada waktu kosong yang membuat dia diam dan berpikir, jadi Bapak kasih ‘bacaan’ untuk dibaca setiap waktu setiap detik kecuali saat-saat ke kamar mandi”
“ Lho ‘bacaan’ nopo niku” ? penasaran aku dibuatnya.
“ Yo Dzikir seperti biasanya, Subhanallah-Alhamdulillah-AllohuAkbar, Ayat kursi, Annas-AlFalaq-AlIkhlas, dan seterusnya, pokoknya jangan berhenti kecuali tertidur”
“Oh, la trus pripun ? Sampe kapan niku?“ Tetep penasaran deh pokoknya.
Seraya menghirup napas panjang, Bapak terlihat akan menutup ceritanya “ Kalau tidak salah sebulan kemudian Pak S datang kerumah sambil bawa pepaya, singkong, pisang dan banyak lah. Ternyata beliau terus sampaikan ucapan terima kasih katanya putranya sudah mau diajak bicara dan kondisinya sudah lebih baik dari bulan sebelumnya.”
Alhamdulillah, ‘Entengane” bapak mendapat Barokah dari Alloh SWT, Aamiinn.

Saking entengannya bapak, pada suatu saat ternyata bapak juga pernah secara tidak langsung lho menolong seseorang yang ternyata masuk dalam daftar ‘buronan nomor satu” negara ini…lain kali deh ceritanya, kalau disini nanti di sensor :-)


Bapak itu Enteng Rejeki (Mujur-Lucky)

Sebuah cerita enteng rejeki dibawah ini tampaknya semakin sulit ditiru deh, ini cerita keberuntungan Bapak yang diberikan kemudahan oleh-Nya untuk naik haji.
Kejadian ini tepat ditahun seribu sembilan ratus delapan puluh tiga, dimana saat itu Bapak juga mengajar ngaji dirumah Pak haji Abdurahman, Pak Abdurahman adalah seorang pengusaha sukses dari Matesih yang sudah sering naik haji. 
Suatu ketika saat sedang dirumah beliau pada bakda subuh setelah mengaji, tepatnya dibulan puasa (tiga bulan sebelum bulan haji). Bapak tiba-tiba ditanya oleh Pak Abdurahman,
“Pak Basir wis nabung Kaji durung?”
Bapak lansgsung terkejut dan sambil tertawa menyahut “ La sing ditabung apa to pak, untuk makan aja belum pasti.. hehe”
Sambil tertawa lepas P Abdurahman lanjut lagi “ Lha mau naik haji apa enggak?”
“ iya, tapi nanti duitnya belum ada” Langsung Bapak terus terang aja.
“ Nanti lak ada yang nutup” tampaknya P Abdurahman mencoba meyakinkan bapak.
Nanging kalau aku sendirian nanti gimana istriku?” Bapak langsung teringat ibu.
“ Ya sudah, sekalian dengan istrimu aja”
Tapi tampaknya malah keyakinan Bapak jadi goyah ditawari seperti itu, “ aku kok kayaknya enggak berani ya”
“ Lho, bener nih enggak berani?” Ditanya lagi Bapak.
“ Iya, nih belum aja dulu deh, masih belum berani” sambil berdiri Bapak pamitan ke Pak Abdurahman karena memang Sudah selesai ngajinya.

Nah keluar dari rumah Pak Abdurahman memang bersama Ibu yang selalu ikut menemani dan menunggu Bapak diruangan tamu. Tiba-tiba saat bapak hendak memutar sepeda motor Ibu langsung bertanya dengan nada setengah marah ke Bapak,
“ Bapak ini bagaimana tho, ditawarin naik haji kok malah mutung (menolak) itu bagaimana ?, ada kesempatan ya diambil aja!” tampaknya Ibu mendengar pembicaraan Bapak dengan P Abdurahman di ruang tengah tadi.
“ Weh, gitu ya bu. Iya deh kalo gitu kita balik lagi ya “ Bapak langsung manut kalo sama Ibu.

Akhirnya masuk lagi deh kerumah Pak Abdurahman, dan Bapak berkata “Inggih itu tawaran hajinya jadi deh, ini istriku mau ternyata” sambil tertawa renyah.
“Lho, betul ini?” Pak Abdurahman kembali meyakinkan.
“Iya deh, InsyaAlloh betul” Bapak menjawab seraya meyakinkan dan menguatkan niatnya.

Menanggapi kesanggupan Bapak, langsung deh malah Pak Abdurahman memberikan tantangan mendadak,
“ Oke, kalau begitu sekarang enggak usah mandi langsung aja dandan, sarungnya ganti pake celana panjang, bawa KTP-nya Ibu, hayo langsung berangkat !”
Bapak langsung bingung, lho kok sekarang langsung ternyata ? Dan juga bukan berangkat ke Depag tetapi disuruh menghadap KabagKesra yaitu Pak Widodo namanya , jadi proses ke Depagnya dilewati dan langsung ke KabagKesra. Saat itu jam menunjukkan pukul 06.30 pagi, lokasi kantor KabagKesra ada di dekat sekitar Perumahan Pelita Rejosari Karanganyar. Saat itu Bapak masih berada di Matesih, jadi persiapan perjalanan enam kilometer dimulai, tanpa mandi pagi :-).
Akhirnya berangkatlah Bapak langsung diantar oleh Pak Abdurahman menggunakan mobilnya ke KabagKesra, begitu tiba langsung ketemu dengan Pak Widodo. Disana dibantu Pak Widodo langsung dibuatkan surat pengantar tanpa perlu dari kelurahan. Kemudian ternyata proses langsung berjalan sangat cepat. Kembali ke matesih ambil motor, Bapak dan Ibu lanjut menuju rumah tegalasri, ternyata Pak Abdurahman balik lagi ke KabagKesra mengambil surat pengantar tadi dan langsung jemput Bapak untuk diajak untuk kemudian lanjut pendaftaran haji.
Tidak berhenti disitu, P Abdurahman ternyata bablas lanjut perjalanan ke solo sejauh dua puluh kilometer lebih karena putar keliling kota Solo menemui kolega-koleganya pengusaha cina di solo mengusahakan percepatan adanya uang cash untuk bantu Bapak agar bisa daftar haji hari itu juga. Proses di solo yang dimulai sejak jam sembilan pagi akhirnya bisa terkumpul juga biaya untuk haji hingga menjelang ashar. Setelah mampir istirahat sholat akhirnya perjalanan lanjut kembali ke karanganyar hingga baru bisa tiba sudah sore hari pas kantor Depag Sudah tutup. Duh..
Sekali laghi keberuntungan memang tidak lari kemana, rupanya Depag tetap membuka digedung luar untuk proses pembayaran selama dua puluh empat jam (hebat ya dulu pelayanan sudah 24 jam). Dan Alhamdulillah akhirnya tepat jam delapan malam proses pendaftaran dan administrasinya termasuk pembayaran langsung selesai malam itu juga disitu sebesar Rp.4.300.000 untuk dua orang sudah ditampung, Sah sebagai calon haji. Bapak tertawa kecil menyadari bahwa dari pagi belum mandi hingga selesai malam-malam jam delapan saat malam ramadhan. Alloohu Akbar!!..Benar-benar sebuah keajaiban luar biasa ya? Kayak proyek roro jonggrang buat candi dalam semalam :-)). Dan tentunya jasa-jasa dari Pak Abdurahman sangat luar biasa untuk perjuangan beliau membantu Bapak.
Bapak masih ingat, saat itu dari pak Abdurahman dengan Bapak sebenarnya masih ada yang belum jelas terkait akad antara mereka berdua, apakah uang yang diberikan itu adalah hibah atau hutangan. Cuman kata-kata “Duit iso digoleki”. Dan yang lebih mengejutkan lagi, Pak Abdurahman pada kesempatan naik haji dengan Bapak itu beliau dipanggil Allah di tanah haram sana, tepat setelah menunaikan hajinya yang ke empat, InsyaAlloh Syahid Husnul Khotimah, Aamiinn.
Ditengah kebingungan itu akhirnya Bapak yang kebetulan punya tanah di bejen mau tidak mau menjual tanah itu untuk menggantikan biaya haji kemarin. Hasil penjualan tanah Alhamdulillah cukup untuk menggantikan biaya haji dan Alhamdulillah juga bahkan sisa yang akhirnya bisa untuk membeli mobil Daihatsu MiniCap HiJet biru yang saat itu harganya sekitar Rp.2.300.000,- (hehe murah ya?), walau kecil tapi cukup tangguh lho bahkan sudah sampai ke Madura juga saat nengok saudara dulu , belakangnya ditutup tenda terpal.

Kisah lain yang kecil-kecil juga masih ada. Masih inget pas kecil dulu awal beli mobil carry, mobil sejuta umat (pesaingnya kijang) yang banyak dicari. Kalau tidak salah belinya ke Liks Motor atau Sun Motor ya kok agak lupa. Saat itu ternyata dapat undian Tape Compo, padahal itu yang paling besar hadiahnya…. Belum lagi pada beberapa kesempatan lainnya, pernah juga membeli mobil dapat hadiah mobil.. Alhamdulillah hanya Alloh yang Maha Kuasa.

Bapak itu Ngoyo-Ngotot (Keras Kepala - Headstrong)

Hehe, dibalik kesederhanaan beliau memang kok watak keras kepala itu kerasa sampe saya hihihi. Justru cerita untuk hal ini mungkin sakjane uakeh tapi bingung mana yang perlu diceritakan ya? hehe, maap Bapak. Tapi keras kepala itu untuk seorang pemimpin malah salah satu tabiat yang hukumnya kayaknya "wajib" dimiliki deh.. :-)
Selain saat menjadi pimpinan daerah Muhammadiyah Karanganyar yang sukses merintis PKU Muhammadiyah, kemudian dulu juga pernah bertengger Poltek (Politeknik) Muhammadiyah, Sekolah-sekolah Muhammadiyah, Gedung Balai Muhammadiyah, dan lain-lainnya. Diusia Bapak yang kepala tujuh, sudah pensiun, sudah tidak aktif secara langsung di Muhammadiyah memulai membangun PAUD Alam Anak Pintar adalah hasil dari ke”ngotot”an Bapak yang nekat langsung membangun bangunan sekolah untuk PAUD di lahan yang ditanami pohon jati itu. Yang Alhamdulillah sekarang sudah sangat maju dibawah pimpinan Mas Burhan dan istrinya Mbak Ana Khusnul. Bahkan InsyaAlloh dalam tahun 2017 ini pula setelah membentuk Yayasan YALAP akan segera berdiri SD Alam Anak Pintar disitu. Tanpa ke”ngotot”an Bapak kepada para anaknya, saya yakin semua itu tidak akan terjadi. 

Demikianlah sekelumit kisah-kisah Bapak yang jelas belum mewakili semuanya,  sampai habis pena ini tak kan selesai menuliskan tentang Bapak. InsyaAlloh segala ilmu segala contoh segala harta dan segala lainnya yang telah kami terima dari Bapak akan selalu membawa barokah selalu untuk siapapun dimanapun dan kapanpun, Aamiinnn.

Bapak itu bukan Bapakku

Seorang Bapak bertubuh gempal
Duduk bersila melihat Tanah kosong
Bapak itu bukan Bapakku
Kalau tidak langsung “bergerak” menghijaukannya

Panggilan Subuh belumlah berkumandang
Klopak-klopak suara sandalnya melalui kamarku
Bapak itu bukan Bapakku
Kalau tidak langsung “bergerak” ke masjid sebelum adzan
Kring-kring telpon meja ataupun hape
Ucap Salam tanya kabar bahas masalah
Bapak itu bukan Bapakku
Kalau bicara ditelepon bertele-tele
Kunjung sana kunjung sini, sodara siapa sodara bukan
Entah saat lebaran, entah saat hari biasa
Bapak itu bukan Bapakku
Kalau tidak rajin menyambung tali silaturahmi
Minggu pagi sudah ramai, malam minggu semakin ramai
Isi disana isi disitu, jumantono, jumapolo, tawangmangu…
Bapak itu bukan Bapakku
Kalau tidak watawa saubil haq watawa saubil sabr






resep donat empuk ala dunkin donut resep kue cubit coklat enak dan sederhana resep donat kentang empuk lembut dan enak resep es krim goreng coklat kriuk mudah dan sederhana resep es krim coklat lembut resep bolu karamel panggang sarang semut